Kasus dugaan penyalahgunaan dana dalam penyelenggaraan Turnamen Tenis Meja DPRD TTS Cup II kini tengah menjadi sorotan publik. Turnamen yang seharusnya menjadi ajang mempererat silaturahmi antaranggota dewan dan masyarakat justru mencuatkan isu dugaan korupsi yang melibatkan dana pokok pikiran (pokir) beberapa anggota DPRD Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.
Dana Pokir Diduga Disalahgunakan
Isu ini bermula ketika sejumlah pihak mempertanyakan transparansi anggaran penyelenggaraan turnamen yang berlangsung di SoE pada akhir Oktober 2025. Berdasarkan laporan yang beredar, kegiatan olahraga tersebut menggunakan dana yang bersumber dari pokir DPRD dengan nilai yang disebut mencapai ratusan juta rupiah. Namun, rincian penggunaan dana itu tidak pernah diumumkan secara terbuka kepada publik maupun peserta.
Sejumlah warga dan aktivis antikorupsi di TTS menilai bahwa penggunaan dana pokir untuk kegiatan turnamen seharusnya mengikuti prosedur ketat dan dilaporkan secara transparan. Mereka menduga adanya markup anggaran, termasuk biaya sewa tempat, konsumsi, serta hadiah lomba yang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan.
“Kalau dana publik digunakan, maka harus ada laporan pertanggungjawaban yang jelas. Jangan sampai kegiatan olahraga dijadikan alasan untuk menyelewengkan uang rakyat,” ujar salah satu aktivis yang enggan disebut namanya.
Panitia dan DPRD Bungkam
Hingga kini, pihak panitia DPRD TTS Cup II belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan tersebut. Beberapa anggota dewan yang disebut-sebut terlibat justru memilih bungkam dan menolak memberikan tanggapan kepada awak media. Sikap ini semakin memicu kecurigaan masyarakat, terutama karena turnamen tersebut menggunakan nama lembaga resmi DPRD.
Sementara itu, Sekretariat DPRD TTS menyebut bahwa dana kegiatan berasal dari aspirasi anggota yang disalurkan melalui mekanisme resmi pemerintah daerah. Namun, pihak sekretariat mengaku belum menerima laporan keuangan lengkap dari panitia penyelenggara.
“Kalau benar dana itu dari pokir, tentu harus ada bukti administrasi yang jelas. Kami masih menunggu laporan resmi,” ujar seorang pejabat di lingkungan DPRD TTS.
Publik Desak Audit dan Investigasi
Desakan agar dilakukan audit dan investigasi oleh aparat penegak hukum semakin menguat. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi di Kupang bahkan telah menyurati Kejaksaan Negeri TTS untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan anggaran tersebut.
Menurut mereka, penggunaan dana pokir untuk kegiatan bersifat pribadi atau seremonial tanpa dasar hukum yang kuat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika sekaligus tindak pidana korupsi. Dana pokir seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
“Jika terbukti ada penyalahgunaan, maka pelaku harus bertanggung jawab di hadapan hukum. Jangan sampai kegiatan olahraga justru menjadi sarana memperkaya diri,” tegas salah satu koordinator LSM tersebut.
Transparansi dan Akuntabilitas Jadi Tuntutan
Kasus ini menjadi cermin penting bagi DPRD TTS dan pemerintah daerah untuk memperkuat prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam setiap penggunaan anggaran publik. Masyarakat kini semakin kritis terhadap pengelolaan dana aspirasi, terutama ketika ditemukan indikasi penyimpangan.
Turnamen DPRD TTS Cup II yang seharusnya membawa semangat sportivitas kini justru menjadi simbol kekecewaan publik terhadap integritas para wakil rakyat. Warga berharap lembaga penegak hukum tidak tinggal diam dan segera menelusuri aliran dana yang digunakan.
Apabila benar ada unsur korupsi, kasus ini bisa menjadi preseden penting untuk menegakkan keadilan serta memperkuat pengawasan publik terhadap penggunaan dana pokir di berbagai daerah di Indonesia.
Dengan meningkatnya sorotan publik, masyarakat TTS kini menunggu langkah konkret dari aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap rupiah uang rakyat digunakan secara jujur, transparan, dan sesuai dengan peruntukannya.
