Tanah Adalah Nyawa: Perjuangan Abadi Masyarakat Adat Melawan Bentrokan Agraria
Bentrokan agraria adalah luka menganga di lanskap pembangunan, seringkali menempatkan masyarakat adat sebagai korban utama. Ini bukan sekadar sengketa lahan biasa, melainkan sebuah "peperangan publik" yang senyap namun brutal, di mana kedaulatan dan eksistensi komunitas dipertaruhkan demi sepetak tanah.
Akar masalahnya kompleks: tumpang tindih klaim, konsesi perusahaan (perkebunan, tambang, HTI) yang masif, serta kebijakan pembangunan yang seringkali abai terhadap hak-hak komunal dan historis. Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar komoditas; ia adalah warisan leluhur, identitas budaya, sumber pangan, obat-obatan, dan tempat ritual. Tanah adalah nafas, yang darinya kehidupan dan peradaban mereka bersemi.
Maka, "peperangan" mereka pun multifaset. Perlawanan masyarakat adat terwujud dalam berbagai bentuk: mulai dari advokasi hukum yang melelahkan, demonstrasi damai, hingga ritual adat yang menegaskan klaim historis dan spiritual mereka. Mereka membangun benteng terakhir dengan pengetahuan lokal, menjaga hutan, sungai, dan pegunungan sebagai lumbung kehidupan. Perjuangan ini seringkali berhadapan langsung dengan intimidasi, kriminalisasi aktivis, kekerasan fisik, bahkan penggusuran paksa oleh kekuatan korporasi dan aparat yang tak jarang tidak berpihak.
Perjuangan masyarakat adat adalah cerminan dari kegagalan negara dalam mengakui dan melindungi hak-hak dasar mereka secara konsisten. Mereka adalah penjaga terakhir ekosistem dan kearifan lokal yang tak ternilai. Mengenali dan mendukung perjuangan mereka bukan hanya tentang keadilan, tapi juga tentang menjaga keberlanjutan ekologi dan kekayaan budaya bangsa ini. Sebab, ketika tanah adat terenggut, yang hilang bukan hanya lahan, melainkan sepotong nyawa dan masa depan peradaban.