Komisi III DPR Anggap Laporan Koalisi Sipil atas RUU KUHAP Tidak Berdasar

Komisi III DPR RI menanggapi laporan yang diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam pernyataannya, anggota Komisi III menyebut bahwa laporan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan cenderung mengabaikan fakta hukum yang berlaku. Pernyataan ini muncul di tengah gelombang kritik publik terhadap revisi KUHAP yang telah menjadi perhatian nasional.

Menurut Ketua Komisi III DPR, laporan koalisi masyarakat sipil itu lebih banyak mengandung asumsi dan opini subjektif daripada data hukum yang terverifikasi. “Kami menghargai aspirasi masyarakat, namun setiap kritik harus berbasis fakta dan kajian hukum yang jelas,” ujar Ketua Komisi III dalam konferensi pers di Jakarta. Ia menekankan bahwa DPR telah melalui proses pembahasan yang panjang dan melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan aparat penegak hukum.

RUU KUHAP yang tengah dibahas bertujuan untuk memperbarui sejumlah ketentuan hukum acara pidana yang dianggap sudah tidak relevan dengan dinamika hukum saat ini. Beberapa poin revisi menyasar pada efisiensi proses peradilan, perlindungan hak korban, serta penegakan hukum yang lebih transparan. Menurut Komisi III, sebagian besar tudingan koalisi sipil terhadap RUU KUHAP bersifat generalisasi dan tidak mempertimbangkan konteks hukum dan administratif yang kompleks.

Dalam laporan yang mereka ajukan, koalisi masyarakat sipil menyoroti beberapa pasal kontroversial yang dianggap melemahkan prinsip checks and balances dalam sistem peradilan. Mereka menekankan bahwa revisi ini berpotensi membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Namun, Komisi III menegaskan bahwa seluruh perubahan telah melalui kajian mendalam dan memperhatikan mekanisme pengawasan yang ada. DPR, menurut mereka, tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan hukum dan hak publik.

Respons DPR ini juga menyinggung soal partisipasi publik dalam pembahasan RUU KUHAP. Komisi III menegaskan bahwa masyarakat memiliki kesempatan untuk memberikan masukan melalui forum resmi, baik dalam bentuk konsultasi publik maupun dengar pendapat dengan anggota DPR. “Jika ada pihak yang merasa aspirasi mereka belum tersampaikan, kami mendorong untuk mengikuti mekanisme yang sudah ada, bukan melalui laporan yang bersifat spekulatif,” tegas anggota Komisi III.

Selain itu, Komisi III menekankan pentingnya literasi hukum dalam menanggapi isu RUU KUHAP. Banyak kritik yang muncul di masyarakat dinilai lahir dari pemahaman yang belum lengkap terkait substansi dan tujuan revisi. Oleh karena itu, DPR berencana meningkatkan sosialisasi dan edukasi hukum untuk memastikan publik mendapatkan informasi yang akurat sebelum mengambil sikap.

Pengamat hukum menilai, perdebatan antara DPR dan kelompok masyarakat sipil ini mencerminkan tantangan demokrasi modern, di mana kontrol publik terhadap kebijakan hukum harus seimbang dengan kebutuhan legislasi yang efektif. Dalam konteks ini, Komisi III mencoba menunjukkan bahwa DPR tetap membuka ruang partisipasi publik, namun menuntut kritik yang berbasis fakta dan analisis hukum yang matang.

RUU KUHAP yang tengah dibahas diyakini akan membawa perubahan signifikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Meskipun menuai kontroversi, DPR menekankan bahwa setiap revisi dilakukan untuk memperkuat penegakan hukum sekaligus melindungi hak warga negara. Dengan sikap kritis namun konstruktif, Komisi III berharap debat publik terkait RUU KUHAP dapat berlangsung sehat dan berbasis fakta.

Dengan demikian, DPR melalui Komisi III menegaskan bahwa laporan koalisi masyarakat sipil atas RUU KUHAP tidak berdasar dan memerlukan kajian ulang sebelum dianggap valid. Komisi III pun mendorong masyarakat untuk memahami proses legislasi secara utuh, sehingga aspirasi publik dapat disalurkan secara efektif tanpa menimbulkan salah tafsir.

Exit mobile version