Yogyakarta — Seorang pakar politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyoroti kondisi demokrasi di Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. Ia menegaskan bahwa penurunan kualitas demokrasi tersebut tidak hanya tercermin dari proses politik yang semakin elitis, tetapi juga dari menyusutnya ruang kebebasan sipil yang menjadi pilar utama negara demokratis.
Menurut Dr. Ahmad Syarif, dosen dan peneliti politik di UMY, kemunduran demokrasi di Indonesia ditandai oleh melemahnya fungsi lembaga pengawasan, maraknya praktik politik transaksional, serta meningkatnya tekanan terhadap kebebasan berekspresi dan berserikat. “Kita melihat gejala demokrasi yang semakin prosedural, bukan substantif. Pemilu masih berjalan, tetapi nilai-nilai demokrasi seperti transparansi, partisipasi publik, dan perlindungan hak-hak sipil justru melemah,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di kampus UMY, Jumat (1/11/2025).
Menurunnya Kebebasan Sipil dan Media
Ahmad menyoroti bahwa kebebasan sipil, terutama dalam hal kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, mengalami penurunan yang signifikan. Ia mengutip beberapa laporan lembaga internasional yang menunjukkan indeks kebebasan Indonesia cenderung stagnan bahkan menurun dalam tiga tahun terakhir. “Media kini banyak menghadapi tekanan, baik secara ekonomi maupun politik. Banyak jurnalis yang takut mengungkap kasus sensitif karena khawatir akan konsekuensi hukum,” tambahnya.
Ia juga menilai bahwa penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering kali menjadi alat untuk membungkam kritik. “Alih-alih menjadi instrumen pengaturan etika digital, UU ITE justru digunakan untuk menekan kelompok yang kritis terhadap pemerintah,” tegas Ahmad.
Politik Oligarki dan Lemahnya Partisipasi Publik
Pakar politik UMY itu menilai bahwa sistem politik di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok oligarki yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan publik. “Kita melihat bagaimana elite ekonomi dan politik saling berkelindan, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berpihak kepada rakyat,” ujarnya.
Ia menambahkan, partisipasi masyarakat dalam proses politik juga cenderung bersifat simbolik. Banyak warga yang ikut pemilu, tetapi tidak memiliki ruang untuk mengawasi atau mempengaruhi kebijakan setelah pemilu usai. “Demokrasi tidak cukup hanya dengan mencoblos setiap lima tahun. Demokrasi sejati membutuhkan partisipasi aktif warga sepanjang waktu,” katanya.
Pendidikan Politik dan Peran Kampus
Untuk mengembalikan kualitas demokrasi, Ahmad menekankan pentingnya pendidikan politik yang kritis dan berkelanjutan, terutama di kalangan generasi muda. Menurutnya, kampus harus menjadi ruang aman bagi diskusi, perbedaan pendapat, dan pembentukan kesadaran sosial-politik. “Kampus tidak boleh steril dari politik, tetapi justru menjadi tempat melatih kemampuan berpikir kritis dan memahami realitas sosial,” ujarnya.
Ia juga mengajak mahasiswa untuk lebih aktif dalam mengawal kebijakan publik serta mendorong transparansi pemerintahan. “Generasi muda harus berani bersuara. Jangan biarkan demokrasi dikendalikan oleh segelintir orang yang hanya mencari keuntungan pribadi,” tegasnya.
Seruan untuk Memperkuat Demokrasi Substantif
Di akhir paparannya, Ahmad menegaskan bahwa memperkuat demokrasi tidak hanya tentang menjaga prosedur pemilu, tetapi juga memperluas kebebasan sipil dan memperkuat lembaga-lembaga penegak hukum agar independen. “Kita harus kembali pada semangat reformasi: menciptakan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat untuk menolak praktik antidemokratis. “Jika publik terus diam, kemunduran ini akan semakin dalam. Tapi jika kita bersatu menjaga nilai-nilai kebebasan, Indonesia bisa kembali menjadi negara demokratis yang sehat menuju Indonesia Emas 2045,” tutupnya.
