Jakarta — Rencana pengusulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejumlah aktivis dan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025), menolak wacana tersebut. Mereka menilai langkah itu tidak mencerminkan semangat reformasi dan dapat melukai rasa keadilan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru.
Aksi Damai Tolak Pengusulan Soeharto
Ratusan massa yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat sipil, lembaga HAM, serta kelompok mahasiswa menggelar aksi damai sejak pagi. Dengan membawa spanduk bertuliskan “Reformasi Belum Usai” dan “Tolak Penghianatan Sejarah”, para demonstran menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah yang tengah mempertimbangkan pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Koordinator aksi, Rino Prasetyo, menyebut bahwa pengusulan ini menunjukkan upaya mengaburkan sejarah kelam bangsa. “Kita tidak menolak penghargaan terhadap tokoh bangsa, tetapi jangan melupakan bahwa di masa Orde Baru banyak pelanggaran HAM, pembungkaman pers, dan korupsi yang terjadi secara sistematis,” ujarnya di sela aksi.
Pemerintah Diminta Hati-Hati
Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk berhati-hati dalam mempertimbangkan pemberian gelar pahlawan nasional. Mereka menilai, penetapan gelar tersebut seharusnya tidak hanya berdasarkan lama masa kepemimpinan atau capaian pembangunan, tetapi juga rekam jejak dalam menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia.
Sementara itu, Kementerian Sosial (Kemensos) menjelaskan bahwa pengusulan nama Soeharto sebagai calon pahlawan nasional telah melalui tahapan administrasi dan evaluasi dari Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden. “Kami menerima banyak masukan dari berbagai kalangan. Semua akan dipertimbangkan secara objektif dan berimbang,” kata Direktur Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Kemensos, Dwi Yuliani.
Sejarah Panjang dan Warisan Kontroversial
Soeharto dikenal sebagai tokoh yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dari tahun 1967 hingga 1998. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun juga diwarnai dengan pembatasan kebebasan sipil dan praktik korupsi yang meluas.
Sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Aditya Nugroho, menilai bahwa wacana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto harus ditempatkan dalam konteks sejarah yang utuh. “Tidak bisa hanya melihat satu sisi keberhasilan pembangunan, tanpa menimbang dampak sosial dan politik yang muncul akibat kebijakan represif pada masa itu,” ujarnya.
Suara Pro dan Kontra Masyarakat
Di sisi lain, sejumlah pihak mendukung wacana tersebut dengan alasan bahwa Soeharto telah berjasa dalam membawa Indonesia keluar dari masa krisis politik dan ekonomi di era 1960-an. Beberapa organisasi masyarakat bahkan menilai bahwa kontribusinya terhadap pembangunan nasional dan stabilitas negara layak diapresiasi dengan gelar pahlawan nasional.
Namun, para aktivis HAM menegaskan bahwa gelar tersebut harus diberikan kepada sosok yang tidak memiliki catatan pelanggaran berat terhadap rakyat. “Memberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh dengan jejak pelanggaran HAM sama saja dengan menutup luka lama bangsa,” ujar aktivis KontraS, Ratri Dewayani.
Penutup
Hingga kini, pemerintah belum mengumumkan keputusan resmi terkait usulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Polemik ini diperkirakan akan terus bergulir seiring dengan munculnya beragam pandangan dari masyarakat. Aksi penolakan di Jakarta menjadi sinyal kuat bahwa wacana ini menyentuh isu fundamental tentang keadilan sejarah dan arah moral bangsa.
Debat mengenai warisan Soeharto tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Di tengah semangat reformasi yang masih hidup, bangsa Indonesia dihadapkan pada pertanyaan penting: bagaimana menempatkan masa lalu secara bijak tanpa menghapus pelajaran berharga dari sejarahnya?
